Pendahuluan
Banyak orang berpikir bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 seolah-olah “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah selesai. Namun, jika kita mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , jelaslah bahwa “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sejatinya belum selesai. “Bola panas” telah diberikan Mahkamah Konstitusi kepada pembuat undang-undang karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan pembuat undang-undang (Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) untuk sesegera mungkin melakukan penyelarasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UUD 1945 dan membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang merupakan the one and only bagi penyelesaian perkara tindak pidana korupsi untuk mengeliminasi dualisme peradilan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan pelanggaran terhadap salah satu prinsip konstitusi yakni equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi memandang perlu adanya masa transisi (smooth transition) agar pemberantasan tindak pidana korupsi tidak stagnan sehingga tidak terjadi kekosongan hukum bagi proses peradilan yang sedang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, sesungguhnya “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 bersifat to be continued. Episode selanjutnya mengenai “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diperankan oleh para pembuat undang-undang (de Wetgever) yang harus memutuskan sejauhmana urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) di Indonesia. Durasi peran pembuat undang-undang dalam episode ini dibatasi selama 3 (tiga) tahun, sehingga jika Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak kunjung terwujud hingga 3 (tiga) tahun terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstiusi Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 diucapkan pada tanggal 19 Desember 2006 maka eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi inkonstitusional dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam hal ini political will bersama antara penguasa eksekutif dan legislatif periode 2004-2009 menjadi sangat signifikan dalam menyikapi dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.
Korupsi sebagai extra ordinary crimes
Korupsi merupakan suatu gejala sosial yang selalu ada dalam setiap kehidupan manusia, bahkan sejak abad 13 SM dengan ditemukannya prasasti cuneiform di Rakka, Syria yang menunjukkan daftar nama-nama pejabat kerajaan setempat yang menerima suap, termasuk seorang putri Assyria . Kita memahami dan menyetujui bahwa untuk berhadapan dengan fenomena korupsi sebagai extra ordinary crimes diperlukan upaya-upaya dan komitmen yang luar biasa (extra ordinary efforts). Upaya-upaya luar biasa dalam menghadapi fenomena korupsi sejatinya telah dilakukan Indonesia sejak zaman revolusi. Namun, upaya-upaya tersebut umumnya masih berfokus pada tataran substansial dengan selalu "mengutak-atik" (mengubah atau mengganti) peraturan perundang-undangan yang dianggap dapat mendukung upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia sehingga perbaikan-perbaikan yang bersifat struktural maupun kultural terasa sekali sangat terabaikan. Kondisi ini berlangsung sejak era orde lama yang kemudian dilanjutkan dengan “sukses” oleh rezim orde baru.
Dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extra ordinary crimes sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extra ordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan sebagai sebagai “jalan pintas” (shortcut) untuk menjawab kelemahan-kelemahan pengadilan konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian Hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan, dan lain-lain. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan sistem rekrutmen dan pola pembinaannya yang sangat buruk, pemahaman dan kepekaan para hakim terhadap fenomena korupsi “sangat mengkhawatirkan”. Hal ini semakin tragis seiring merajalelanya praktek mafia peradilan dengan melibatkan para aparat penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. Bahkan, menurut kesimpulan hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses peradilan justru berasal dari pihak pengadilan itu sendiri . Kondisi ini secara sosiologis semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan, sehingga lembaga peradilan dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara kekuasaan yudikatif dianggap belum dapat berperan maksimal sebagai wadah integrasi dan penyeimbang kepentingan negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan masyarakat.
DOWNLOAD BACA SELANJUTNYA
Banyak orang berpikir bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 seolah-olah “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah selesai. Namun, jika kita mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , jelaslah bahwa “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sejatinya belum selesai. “Bola panas” telah diberikan Mahkamah Konstitusi kepada pembuat undang-undang karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan pembuat undang-undang (Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) untuk sesegera mungkin melakukan penyelarasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UUD 1945 dan membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang merupakan the one and only bagi penyelesaian perkara tindak pidana korupsi untuk mengeliminasi dualisme peradilan terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan pelanggaran terhadap salah satu prinsip konstitusi yakni equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi memandang perlu adanya masa transisi (smooth transition) agar pemberantasan tindak pidana korupsi tidak stagnan sehingga tidak terjadi kekosongan hukum bagi proses peradilan yang sedang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, sesungguhnya “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 bersifat to be continued. Episode selanjutnya mengenai “proses peradilan” terhadap eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diperankan oleh para pembuat undang-undang (de Wetgever) yang harus memutuskan sejauhmana urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) di Indonesia. Durasi peran pembuat undang-undang dalam episode ini dibatasi selama 3 (tiga) tahun, sehingga jika Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak kunjung terwujud hingga 3 (tiga) tahun terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstiusi Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 diucapkan pada tanggal 19 Desember 2006 maka eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi inkonstitusional dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam hal ini political will bersama antara penguasa eksekutif dan legislatif periode 2004-2009 menjadi sangat signifikan dalam menyikapi dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.
Korupsi sebagai extra ordinary crimes
Korupsi merupakan suatu gejala sosial yang selalu ada dalam setiap kehidupan manusia, bahkan sejak abad 13 SM dengan ditemukannya prasasti cuneiform di Rakka, Syria yang menunjukkan daftar nama-nama pejabat kerajaan setempat yang menerima suap, termasuk seorang putri Assyria . Kita memahami dan menyetujui bahwa untuk berhadapan dengan fenomena korupsi sebagai extra ordinary crimes diperlukan upaya-upaya dan komitmen yang luar biasa (extra ordinary efforts). Upaya-upaya luar biasa dalam menghadapi fenomena korupsi sejatinya telah dilakukan Indonesia sejak zaman revolusi. Namun, upaya-upaya tersebut umumnya masih berfokus pada tataran substansial dengan selalu "mengutak-atik" (mengubah atau mengganti) peraturan perundang-undangan yang dianggap dapat mendukung upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia sehingga perbaikan-perbaikan yang bersifat struktural maupun kultural terasa sekali sangat terabaikan. Kondisi ini berlangsung sejak era orde lama yang kemudian dilanjutkan dengan “sukses” oleh rezim orde baru.
Dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extra ordinary crimes sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extra ordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan sebagai sebagai “jalan pintas” (shortcut) untuk menjawab kelemahan-kelemahan pengadilan konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian Hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan, dan lain-lain. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan sistem rekrutmen dan pola pembinaannya yang sangat buruk, pemahaman dan kepekaan para hakim terhadap fenomena korupsi “sangat mengkhawatirkan”. Hal ini semakin tragis seiring merajalelanya praktek mafia peradilan dengan melibatkan para aparat penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. Bahkan, menurut kesimpulan hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses peradilan justru berasal dari pihak pengadilan itu sendiri . Kondisi ini secara sosiologis semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan, sehingga lembaga peradilan dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara kekuasaan yudikatif dianggap belum dapat berperan maksimal sebagai wadah integrasi dan penyeimbang kepentingan negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan masyarakat.
DOWNLOAD BACA SELANJUTNYA
0 komentar " Mengadili Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar