MENINJAU PERBEDAAN BAHASA DAKWAH DAN BAHASA PERANG


“Pergilah kamu (Musa) dan saudaramu (Harun) dengan membawa ayat-ayatKu, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingatKu. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha; 42-44)

Nama Fir’aun disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 74 kali. Jika seluruh ayat yang menyebut nama Fir’aun dikumpulkan, maka akan bisa disimpulkan bahwa Fir’aun termasuk sosok manusia paling jahat yang ada dipentas kehidupan ini.

Betapapun Fir’aun disebut-sebut dengan segala kesombongan, kezaliman, kebengisan dan kelicikannya itu, namun ketika Allah SWT memerintahkan nabi Musa as untuk mendakwahinya, beliau diperintahkan Allah agar mengucapkan kata-kata yang lemah lembut. “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.”

Dan perintah agar Musa dan Harun as berdakwah kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut itu justru diawali dengan informasi yang menegaskan tentang sikap Fir’aun yang melampaui batas. “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.”

Layakkah Fir’aun yang bengis, sombong, si tukang menyimpangkan orang dari jalan Allah itu mendapatkan tutur kata dan perlakuan sedemikian indah dari nabi Musa yang –padahal- Musa as sendiri dimasukkannya dalam daftar hitam untuk dibunuh?

Masalahnya bukanlah apakah Fir’aun itu layak atau tidak layak mendapatkan semua itu. Masalahnya adalah, apa tujuan dari dakwah itu? Membalas kekejaman dengan caciankah? Membayar kesombongan dengan ledekankah? Mengganjar penindasan dengan kata-kata yang kasarkah? Adakah dakwah adalah wahana bagi seseorang untuk melampiaskan kekecewaan atau kemarahannya hingga mendapatkan kepuasan?

Tujuan dakwah, khususnya dakwah nabi Musa, antara lain adalah agar Fir’aun ingat atau takut (yatadzakkaru au yakhsyaa), sebagaimana yang Allah tegaskan. Menurut Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Yakni agar Fir’aun kembali dari kesesatan dan kebinasaan atau takut, yakni mewujudkan ketaatan karena takut kepada Tuhannya.” (Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal. 154).

Jadi itulah tujuan yang dicanangkan Allah. Jika demikian, orang sekaliber Fir’aun sekalipun, berhak mendapatkan seruan dakwah yang lemah lembut. Sebab kecongkakan dan kebengisannya bukanlah urusan nabi Musa ataupun nabi Harun, melainkan urusan Allah SWT…..

Mengomentari ayat itu (QS. Thaaha;44), Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat agung. Yakni, sekalipun Fir’aun berada pada puncak pembangkangan dan kecongkakan,sedangkan Musa adalah salah seorang manusia pilihan Allah, namun Allah tetap memerintahkannya agar tidak berbicara kepada Fir’aun kecuali dengan kelemah-lembutan dan kehalusan.” Selanjutnya Ibnu Katsir mengutip Yazid Ar-Ruqasyi, “Wahai (Allah) yang menampakkan kasih sayangNya kepada orang yang memusuhiNya. Begitu pula terhadap orang yang mentaatiNya dan menyeruNya.” (Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal.154)

Sayyid Quthb mengatakan, “Ucapan yang lemah lembut tidak akan membangkitkan rasa bangga dengan dosa dan tidak akan menghantam kebesaran semu yang dengannya para angkara murka hidup. Bahkan kata-kata yang lemah lembut berkemampuan untuk membangunkan hati menjadi ingat atau takut akan akibat keangkaramurkaannya itu.” (Fii Zhilaalil-Qur’an IV ; 2336)

Dan ucapan yang lemah lembut tidaklah serta merta bisa diartikan sebagai penyembunyian kebenaran. Buktinya, muatan yang dipesankan Allah kepada Nabi Musa agar disampaikan dengan tutur kata yang lemah lembut itu bukanlah muatan yang lemah lembut. Coba kita simak firman Allah berikut ini:

“Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) lalu katakanlah, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu. Maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Kami telah datang kepadamu dengan membawa ayat dari Tuhanmu. Dan kesejahteraanlah bagi orang yang mengikuti petunjuk (Allah). Sungguh telah diwahyukan kepada kami bahwa azab itu bagi orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. Thaaha; 46-48)

Jika berdakwah kepada orang kafir saja dibimbing dengan keharusan mengucapkan bahasa yang lemah lembut, maka terlebih lagi berdakwah kepada orang yang sudah mengaku Muslim. Dan perintah seperti itu pula yang diterima Rasulullah SAW dalam berdakwah, “Serulah kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl; 125)

“Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW agar bersikap lemah lembut, sebagaimana yang diperintahkan kepada nabi Musa dan Harun ketika Dia mengutus mereka berdua kepada Fir’aun.” (Tafsir Ibnu Katsir Juz II hal.592)

Dalam ayat lain, Allah SWT mensifati Rasulullah dengan kelemah lembutan dan bahwa sikap itu tidak lain datang dari Allah SWT, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imraan ; 159)

Oleh karena itu, kita bisa melihat perbedaan antara bahasa dakwah dan bahasa perang yang digunakan Rasulullah SAW. Dalam perang Uhud, Rasulullah SAW menyuruh sahabatnya mengatakan kepada Abu Sufyan, “Orang-orang yang terbunuh dari kamu akan masuk neraka sedangkan dari kami akan masuk surga.”

Tapi bahasa seperti itu tidak Rasulullah gunakan ketika berdakwah, meskipun beliau harus menyebut-nyebut tentang surga dan neraka. Ketika berdakwah kepada kaum kerabatnya di bukit shafa, Rasulullah SAW mengatakan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.”

Menyatakan kebenaran –kepada siapapun- tidaklah hanya punya satu bahasa : kasar, cemooh, caci. Dan “over” semangat dalam mengajak seseorang pada kebenaran, sehingga mengeluarkan kata-kata cacian, makian, bahkan mungkin laknat, tidaklah menjanjikan keberhasilan dakwah dan –terlebih-lebih- belum tentu berangkat dari keikhlasan untuk mencapai tujuan dakwah yang Allah canangkan.

Makanya, tidaklah terlalu berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa mengajak kejalan yang benar –di masa sekarang, disaat banyak orang dan kelompok yang menyadari tanggung jawabnya akan dakwah islam- dengan cara mencaci maki, mencemooh, memojokkan sesama Muslim atau aktifis dakwah, lebih bisa dipahami sebagai sebuah refleksi dari iri hati, dengki, keki, cemburu, kecewa, dan rasa tidak mampu (pesimisme) dalam “bersaing” ketimbang sebagai seruan ikhlas kejalan yang benar.

Ada, paling tidak, dua hal yang tidak boleh luput dari kesadaran para da’i dan aktifis islam.

Pertama, betapa masih luasnya lahan dakwah yang belum tergarap. Masih lebih banyak orang yang belum tersentuh dakwah atau Muslim karena keturunan dibandingkan dengan orang yang sudah terekrut dalam salah satu gerakan dakwah yang ada.

Kedua, betapa kekuatan internasional kuffar tak berdaya menghadapi kekuatan islam dalam bentuknya yang utuh yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka. Oleh karena itu, mereka akan mentolerir Islam dalam bentuk ritual dan dakwah dalam bentuk perdebatan (untuk menghaluskan kata ‘pertikaian’ dan ‘saling memojokkan’ ). Hal itu bukan saja akan membuat orang-orang kafir itu aman dari ancaman kekuatan islam, tapi bahkan akan menumbuhkan kondisi yang mendukung bagi hegemoni kekuatan kuffar atas kaum muslimin dan negara-negara Muslim.

Lalu, untuk kemashlahatan siapa bahasa perang digunakan sebagai pengganti bahasa dakwah? Wallahu a’lam bishawab 

0 komentar " MENINJAU PERBEDAAN BAHASA DAKWAH DAN BAHASA PERANG ", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar

Followers