Pertama-tama,
fiqh memang respek dan memberikan perhatian serius soal usaha laki-laki untuk
mengerti calon isterinya dan begitu sebaliknya. Karena pernikahan adalah ikatan
kuat (miitsaaqaan ghaliadzaan) yang akan dijalani dalam waktu lama,
bahkan sampai ajal merenggut. Sehingga proses awalnya harus dilakukan dengan
hati-hati, agar tidak kecewa dan salah pilih. Maka ketika sahabat Mughirah
bin Sya'bah berkata kepada Rasul bahwa ia telah meminang seorang perempuan,
Rasul bertanya, "Anadzarta ilaiha (sudahkah kau melihatnya)?"
"La (tidak)!" jawab Mughirah. Kemudian Rasul bersabda:
"Lihatlah perempuan itu,
karena biasanya, (melihat) itu bisa melanggengkan (jalinan cinta kasih) antara
kamu berdua."
Dalam riwayat Jabir disebutkan:
"Jika di antara kalian ada
yang meminang seorang perempuan, jikalau ia bisa melihat si perempuan yang ia
butuhkan untuk menikahinya, maka hendaknya ia lakukan itu."
Kalau dengan
cara ini laki-laki belum cukup puas atas pengetahuannya tentang perempuan yang
ditaksirnya, misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang perangai perempuan
tersebut, Sayyid Sabiq memberikan jalan keluar:
“Melihat seperti ini, dapat
mengungkapkan kecantikan (si perempuan). Adapun akhlaknya, diketahui dengan
mengerti sifat-sifatnya dan meminta penjelasan terhadap orang yang akrab dengan
si perempuan, seperti tetangga atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat
pantas dipercaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari perempuan tersebut.”
Jika dengan
begini, masih saja ada ganjalan di hati. Sehingga ia perlu ngobrol dan pergi
bareng dengan perempuan itu untuk penjajakan dan berbagi rasa, masih dipandang
boleh oleh fiqh dengan syarat pertemuan tersebut disertai mahram si
perempuan, agar ada yang mengawasi dan mereka berdua tidak terjerumus
melakukan hal-hal yang diharamkan. Dalam Al-Halal wal Haram fi al-IsIam,
Yusuf Qardlawi menjelaskan:
"Selanjutnya
mereka berkata bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut
dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian
menurut ukuran syara' ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya,
perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk
dalam kata sebagian yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan:
'Kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk
mengawininya.'"
Sampai
di sini, fiqh masih toleran. Ini semua menunjukkan hasrat besar fiqh untuk
mewujudkan struktur sosial yang mantap dan stabil. Sehingga dari unit keluarga
yang merupakan komunitas terkecil dari sebuah masyarakat, fiqh memberi arahan
sedemikian rupa agar misi ini terwujud. Apa jadinya kalau pacaran yang
bebas-sebebasnya dijustifikasi. Bukan kedamaian dan ketentraman yang
didapatkan, melainkan kerancuan dan kekacauan. Falyata'ammal!
0 komentar " BATASAN BERPACARAN MENURUT ISLAM ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar