Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bahwa ilmu yang fardhu ‘ain – ilmu yang wajib bagi setiap muslim sehingga ia terhindar dari berbuat dosa kepada Allah – itu ada dua jenis. Yang pertama adalah ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang wajib diketahui saja. Yang kedua adalah ilmu mua’amalah, yaitu ilmu yang wajib diketahui dan diamalkan. Menurut al-Ghazali ilmu mukasyafah ini terlalu rumit tapi bisa dicapai dengan mengamalkan ilmu mu’amalah. Jadi, dari kedua ilmu ini hanya ilmu mu’amalah saja yang bisa dipraktikkan.
Ilmu mu’amalah mencakup tiga hal. Pertama, segala hal yang terkait dengan keyakinan (i’tiqad). Kedua, segala hal yang harus dilakukan (perintah), dan ketiga, segala sesuatu yang harus ditinggalkan (larangan). Ketiga hal ini adalah inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Meskipun al-Qur’an dan Sunnah tidak semuanya berbicara tentang aqidah, perintah, atau larangan secara langsung, namun secara tersirat selalu ada kaitannya dengan ketiga hal ini. Misalnya, ketika al-Qur’an membahas tentang alam semesta, maka secara tersirat maupun tersurat al Qur’an menjelaskan tentang keyakinan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan pemelihara alam semesta. Demikian juga ketika al-Qur’an berbicara tentang kisah-kisah orang yang dimurkai Allah, terdapat larangan untuk tidak mengulangi perbuatan orang-orang tersebut.
Dari ketiganya, keyakinan adalah ilmu yang paling awal dan paling penting sebab keyakinanlah yang mendorong seseorang melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Itu sebabnya sebelum seseorang terikat dengan syariat Islam ia harus memulainya dengan mendeklarasikan keyakinannya (syahadat). Tanpa keyakinan, berarti tidak ada kewajiban melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan.
Nabi Muhammad SAW – yang selalu mendapat bimbingan Allah SWT dalam menjalankan tugas dakwahnya – menyadari betul bahwa kunci perubahan terletak pada kekokohan keyakinan. Tanpa keyakinan orang akan bimbang dan hidup tanpa arah sehingga setiap langkahnya selalu diliputi keraguan. Dengan kata lain, keyakinan inilah yang menjadi kekuatan setiap amal dan tidak ada amal yang sempurna kecuali berangkat dari keyakinan yang sempurna. Itu sebabnya di masa permulaan dakwah, Nabi SAW secara terus menerus membina aqidah umat Islam. Hal ini bersesuaian dengan tema ayat-ayat Makiyyah yang diturunkan pada fase pertama dakwah, yaitu saat umat Islam belum melakukan hijrah ke Madinah, dimana kebanyakan ayat-ayat yang turun itu merupakan ayat-ayat tentang aqidah atau tauhid yang membahas tentang kewajiban hanya beribadah kepada Allah, bukti tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, hari pembalasan, surga, dan neraka. Sedangkan pada fase kedua, yaitu sesudah hijrah, ayat-ayat Qur’an cenderung lebih banyak membahas tentang kewajiban dan larangan seperti masalah ibadah, muamalah, keluarga, warisan, jihad, dan lain-lain.
0 komentar " KONSEP DAKWAH NABI : MENDAHULUKAN KEYAKINAN SEBELUM PERINTAH DAN LARANGAN ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar