MENGEMBANGKAN FITRAH BERAGAMA SEJAK DINI


Allah telah menciptakan berbagai macam makhluk di dalam alam ini dan dari sekian banyak jenis makhluk itu manusialah yang mendapatkan kehormatan tertinggi di antara mereka yang ditandai dengan penyerahan mandat kepadanya oleh Allah untuk mengurus bumi ini, yang menurut bahasa Al-Qur’an disebut khalifah, yaitu penerima kuasa, bukan penguasa, karena penguasa adalah Allah sendiri. Ketika Allah swt –untuk pertama kalinya- menginformasikan rencananya itu kepada malaikat, ternyata para malaikat kurang setuju, bahkan mereka mengajukan intrupsi kepada Allah dengan alasan bahwa merekalah yang lebih pantas dan lebih mampu untuk mengemban tugas tersebut. Namun Allah menepis jalan pikiran para malaikat disebabkan keterbatasan ilmu mereka tentang rencana Allah tersebut.
Keunggulan makhluk manusia ternyata mampu mengalahkan keunggulan malaikat yang dibuktikan oleh hasil test yang diajukan oleh Allah kepada kedua kelompok tersebut. Hal ini diabadikan Allah dalam QS. al-Baqaraha: 30-33.
Untuk menyandang tugas khalifah itu, Allah memberikan berbagai peringkat kepada manusia  yang dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan amanah tersebut. Di antara perangkat tersebut adalah potensi-potensi pada dirinya yang disebut fitrah atau garizah, atau naluri manusia. Fitrah sering pula diartikan sebagai asal kejadian, karena merupakan bawaan sejak lahir. Fitrah atau garizah bagi manusia disebut insting pada makhluk binatang. Manusia deiberi bebarapa macam garizah, diantaranya garizah al-zauj yaitu kebutuhan terhadap lawan jenisnya,  garizah hubb al-khulud (hidup kekal), garizah al-muk wa al-tamalluk (ambisi  menjadi penguasa atau memiliki sebanyak-banyaknya), dan garizah al-tadayyun (fitrah keberagamaan). Diantara fitrah-fitrah ini, fitrah yang terakhir (al-tadayyun) adalah yang terpenting. Seseorang mungkin menyesal karena tidak dapat memperoleh  kekayaan atau pasangan hidup sesuai keinginannya, akan tetapi penyesalannya itu hanya ia rasakan di dunia atau sebatas usia yang dimilikinya. Akan tetapi bila ia tidak dapat memenuhi naluri keberagamaannya, maka penyesalan abadi akan dialami diakhirat, meski –munkin- di dunia ini ia tidak menyadarinya.
Fitrah al-tadayyun (naluri beragama) memang tidak sederas desakannya dengan fitrah-fitrah lain dan dapat saja tertunda beberapa waktu lamanya tanpa menimbulkan ganguan fisik yang nyata. Karena itu setiap manusia mempunyai fitrah beragama yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, agama tidak boleh dipaksakan kepada seseorang.  Namun yang penting adalah senantiasa merangsang dan  menuntunnya sehingga dapat tumbuh dan berkembang  dengan subur sejak dini. Akan tetapi ternyata, sering kali fitra beragama ini baru muncul pada saat seseorang mengalami kesusahan, penderitaan, jalan buntu atau kegagalan lainnya.
Sering terjadi, ketika seseorang mengalami kejatuhan setelah berada pada posisi puncak barulah ia sadar akan adanya Tuhan. Ketika ia hidup sendirian di kamar penjara setelah menikmati berbagai macam kesenangan dan pasilitas yang dimilikinya barulah ia mencoba mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan jalan memperbanyak ibadah yang mungkin sebelumnya tidak pernah menjadi perhatian baginya, dan pada saat itu barulah ia mencoba membuka-buka Al-Qur’an yang mungkin sebelumnya jarang atau tidak pernah sama sekali disentuhnya.   Sementara itu, ada pula orang yang ketika dihimpit kesuitan membuat janji atau nazar dengan Allah, bahwa apabila ia terlepas dari bencana yang dialaminya akan senantiasa melakukan ketaatan kepada-Nya, tetapi setelah tercapai cita-citanya, lupa akan janjinya.  Sikap semacam ini diilustrasikan oleh Allah dalam firman-Nya surat Yunus: 22-23 sebagai berikut:
حتى إذا كنتم فى الفلك وجرين بهم بريح طيبة وفرحوا بها جاءتها ريح عاصف وجاءهم الموج من كل مكان وظنوا أنهم أحيط بهم دعوا الله مخلصين له الدين لئن أنجيتنا من هذه لنكونن من الشاكرين ، فلما نجاهم إذا هم يبغون فى الأرض بغير الحق (يونس : 22-23)
“Sehingga apabila kamu berada di atas bahtera dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.  Maka setelah Allah mnyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar”.
            Yang paling celaka lagi, apabila kesadaran keberagamaan itu baru muncul pada saat menjelang akhir hayat, yaitu ketika seseorang dalam keadaan sakarat al-maut.  Pada saat itu pintu taubat sudah tertutup, nauzu billahi min zalik.  Hal ini terjadi pada Fir’aun yang pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan dengan mengatakan  أنا ربكم الأعلى  (Akulah Tuhanmu yang maha tinggi).  Ketika Fir’aun berada dalam keadaan sakarat di tengah lautan yang akan merenggut nyawanya dan yang akan memisahkan segala kemewahan dan keperkasaannya, pada saat itulah baru muncul fitrah dan kesadaran keberagamaannya -yang memang sejak lahir bersama dengannya- dengan mengatakan :
 آمنت أنه لا اله إلا الذى آمنت بـه بنوا اسرائيل وأنا من المسلمين.
“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Allah.  
Pernyataan Fir’aun ini sudah sangat terlambat sehingga Allah menegurnya dengan mengatakan:
: الآن وقد عصيت قبل وكنت من المفسدين
“Apakah sekarang baru kamu percaya, padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat merusak”.
            Itulah gambaran orang-orang yang hanya mengingat Allah pada saat-saat menemui kesusahan dan penderitaan.  Ketika mereka sedang dalam keadaan mendapatkan limpahan nikmat, mereka lupa kepada yang memberikan nikmat, yaitu Allah swt.
Tamsil di atas telah menjadi pelajaran dan ‘ibrah paling berharga bagi kita bahwa tidak harus menderita dulu baru bertobat, atau harus merasakan kepahitan dulu baru kembali kepada Allah. Sesungguhnya pintu taubat dan kasih Allah selalu terbuka dan tercurah sampai ajal menjelang. Yang perlu diwaspadai adalah pesona dunia yang kerap kali menjadikan manusia terbuai dan lalai dari hakikat kehidupanny yang fana. Jangan sampai, saat malak al-maut  datang menjemput, baik secara perlahan atau mendadak, barulah kesadaran beragama ini muncul kembali. Karena pada setelah itu, tidak lagi ada kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.
Bagi generasi sekarang, tidak ada pilihan kecuali bersegera menghayati kembali ikatan ‘ubudiyah dengan Sang Khalik. Menunda atau menangguhkan kebaikan sama saja dengan melupakannya. Tidak ada yang menjamin apakah di masa nanti kita akan sadar dan bertaubat, atau –bahkan- semakin jauh dari Allah. “merugilah orang yang selalu menunda-nunda”, demikian bunyi sebuah hadis, dan banyak lagi perintah Allah untuk bersegera kepada kebaikan.
 Sementara untuk generasi penerus, anak-anak dan keturunan kita, sekaranglah saatnya membina mereka dengan memberi media dan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan naluri keagamaan mereka. Jika tidak, maka kita turut bertanggung jawab atas kemerosotan akhlak dan moral masyarakat di masa datang. Ini adalah konsekuensi logis, seperti halnya orang yang menanam akan menuai dan orang yang ceroboh akan tergelincir.
Kesadaran beragama harus dikembangkan dan dipelihara sejak dini, agar tugas sebagai khalifah dapat terlaksana dengan sempurna sebagaimana yang diinginkan oleh Allah swt.
           Akhirnya, marilah kita berdoa agar kesadaran beragama yang kita miliki sekarang kita dapat pelihara dengan baik, dan janganlah kiranya kita termasuk orang-orang yang baru muncul kesadaran beragamanya pada saat-saat menemui kesulitan, apalagi pada saat menjelang akhir hayat.

0 komentar " MENGEMBANGKAN FITRAH BERAGAMA SEJAK DINI ", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar

Followers