Ketika status seorang perempuan berganti menjadi seorang ibu, maka ia adalah sekolah”. Setidaknya ungkapan tersebut cukup representatif untuk mendiskripsikan betapa urgennya peran seorang ibu. Maka, langkah selanjutnya adalah bagaimana agar sekolah tersebut menjadi sekolah unggulan sekaligus menjadi kawah candradimuka bagi anak-anaknya. Peran ibu adalah peran yang sangat mulia, seperti sabda rasul bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu.
Hadist tersebut mengisyaratkan betapa mulia tugas seorang ibu. Layaknya sebuah sekolah unggulan, untuk menjadi ibu diperlukan persiapan yang cukup. Bila sebuah sekolah mempunyai kurikulum yang komprehensif, sistem pengajaran yang bagus, pengajar yang berkualitas dan mempunyai bagian litbang, begitu pula untuk menjadi seorang ibu perlu mempersiapkan hal itu sejak dini. Ia harus berlatih dan meningkatkan kualitas dirinya lewat pembelajaran dan mengasah kesabaran secara terus-menerus. Disamping itu, ia harus bisa meningkatkan kualitas anak-anaknya, rumah tangganya, serta dapat memberikan kotribusi yang berarti bagi masyarakat.
Tetapi realitas berbicara lain. Peran ibu dianggap sebagai urutan kedua setelah urusan rumah tangga. Seorang perempuan tidak mempunyai konsep tentang anak dan metode dalam mendidik mereka. Disamping itu masih banyak perempuan yang menjalankan peran keibuan berdasarkan pola “turun-temurun”. Peran ibu dianggap sebagai peran “cuma” atau “hanya”. Akhirnya jika peran ibu dianggap cuma, maka anak-anak yang dilahirkan dan dididiknya hasilnya akan menjadi “anak yag cuma begitu saja”. Bukan suatu simplifikasi jika dikatakan bahwa peran ibu kurang mendapat prestise dari masyarakat.
Memang di satu pihak Qur’an dan Sunnah menjadikan peran begitu mulia, namun di sisi lain peran ini kurang dihargai. Setidaknya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
Pertama; ada sebagian ibu-ibu yang berkata “ah saya cuma ibu rumah tangga”. Hal ini disebabkan peran keibuan yang selama ini dijalankan berangkat dari keterpaksaan kaum perempuan. Karena sesungguhnya perempuan tersebut belum mempunyai pilihan, hanya masyarakat yang memaksanya untuk menjalankan peran tersebut dengan mengatakan bahwa peran itu mulia (Miranda, 1997). Memang, bagi seorang perempuan memutuskan dirinya untuk menikah dan mejadi seorang ibu adalah suatu keputusan yang sangat berani. Betapa tidak, ia harus merawat, membimbing dan mendidik anaknya sebagai amanah Allah. Bagai sebuah proyek besar yang tidak bisa dirampungkan begitu saja.
Faktor kedua; menurut Fauzil Adzim (2002) kurangnya penghargaan terhadap peran keibuan disebabkan oleh adanya sindrom feodalistik yang disosialisasikan secara turun-menurun dengan mengatakan bahwa sesuatu yang memiliki value adalah materi atau kedudukan sosial. Dengan kata lain seluruh sistem masyarakat termasuk sistem pendidikan keluarga, mengajarkan untuk memberi penghargaan pada benda buka pada karya, lebih-lebih pada proses berkarya bagi kemanusiaan.
Faktor ke tiga; pengaruh media massa yang secara tidak langsung mensosialisasikan bahwa peran publik lebih terhormat daripada peran domestik. Idealnya seorang ibu harus bisa menjadi sekolah favorit bagi anak-anaknya.
Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama seorang perempuan harus menyadari bahwa peran tersebut sangat berarti dan sangat penting, karena berfungsi sebagai pendidik utama dalam keluarga yang tak tergantikan. Bagaimana wajah masa depan bangsa ini, semua itu tergantung pada bagaimana seorang ibu menjalankan perannya.
Kedua; Peran tersebut harus didasarkan atas tanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana sabda “setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, suami adalah pemimpin bagi isteri dan anak-anaknya, isteri adalah pemimpin bagi anak-anak dan rumah tangganya….”. Sebagai seorang pemimpin, maka diakhir masa jabatannya ia akan dimintai pertanggungjawaban.
Ketiga; mempersiapkan diri sejak dini. Ironisnya seringkali persiapan yang dilakukan oleh seorang calon ibu hanya terbatas pada latihan praktis dalam merawat anak dan mengelola rumah tangga. Lebih dari itu persiapan yang dimaksud adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan baik umum maupun agama disamping persiapan ruhiyah dan amaliyah.
Keempat; perlunya kerja sama semua pihak terutama suami, karena tugas seorang ibu sangatlah berat.
Memang peran ibu jauh dari sanjungan meskipun di belakang orang-orang besar ada seorang ibu yang mengarahkan mereka. Meski begitu peran ibu tetap menjadi sebuah peran yang tak tergantikan oleh siapapun. Begitu pentingnya sehingga bagaimana wajah anak-anaknya tergantung bagaimana akhlak ibunya. Karakter Ismail dan Kan’an sangatlah berbeda meskipun keduanya putra nabi. Kan’an memiliki ibu penghianat berbeda dengan Ismail yang mempunyai ibu yang salehah. Selain itu bagaimanapun sibuknya seorang ibu dalam sektor publik keluarga tetap yang utama. Allahu a’lam [iwul@myquran.com ]
*Penulis adalah Mahasiswi FAI-UMM
Sekbid IPTEK IMM Cabang Malang
0 komentar " MEMBEBASKAN PEREMPUAN DARI SINDROM FEODAL ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar