Gegernya peristiwa penggalian situs
Batutulis di Bogor, terutama karena alasan-alasan irasional, telah memberikan
renungan sangat penting pada masyarakat dan lembaga-lembaga yang berwenang
melindungi benda-benda cagar budaya, untuk menyadari kembali betapa pentingnya
memahami, melindungi, dan memelihara artefak-artefak sejarah tersebut. Artefak
yang telah melahirkan generasi yang kesekian yang ada sekarang ini. Penelusuran
tentang jejak-jejak peradaan leluhur bangsa Indonesia perlu terus dilakukan
sebagai temuan sejarah yang akan tertanam dalam hati seluruh masyarakat
Indonesia.
Tentunya perusakan benda-benda sejarah
itu bukan hanya terjadi pada saat ini. Banyak orang yang tidak bertanggung
jawab, serakah, dan tidak berbudaya mencoba merusak benda-benda tersebut dengan
alasan sesaat, demi uang, jimat, peruntungan, dan hal-hal mistik lainnya. Namun
di sisi lain ada juga hal yang menggembirakan, seperti ditemukannya beberapa
situs baru, khususnya di Jawa Barat, berupa candi di daerah Batujaya Karawang
dan Bojongmenje Rancaekek, sehingga tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah
Jawa Barat lainnya juga masih terpendam "harta karun" yang tak
ternilai. Bahkan diduga situs-situs tersebut masih saling berhubungan, terutama
dikaitkan dengan kejayaan kerajaan Pajajaran dahulu. Tentunya hal ini pun harus
mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat untuk merekonstruksi kembali bangunan bersejarah itu.
Untuk sekadar mengingatkan kembali
bagaimana pentingnya kita menghargai sejarah dan benda-benda peninggalan berupa
artefak-artefak, candi, prasasti, atau yang lainnya, marilah kita melihat
bagaimana Candi Borobudur direkonstruksi sehingga menjadi bangunan yang megah
dan termasuk tujuh keajaiban dunia. Untuk mengawalinya kita perlu melihat
bagaimana nama dan Candi Borobudur diketahui.
Sekira tiga ratus tahun lampau, tempat
candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya
disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari
naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan
tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada
berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang
tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun
1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran
Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam
sangkar. Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari
bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir.
Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan
sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan
dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran
dilanjutkan pada 1825.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan
candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
Mengenai nama Borobudur sendiri banyak
ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko
menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata
Budur merujuk pada nama tempat. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF.
Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah
bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah
yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa
sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa
Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama
Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi
arwah-arwah leluhurnya.
Bagaimana pergeseran kata itu terjadi
menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat
setempat.
Dalam pelajaran sejarah, disebutkan
bahwa candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah
kepemimpinan Raja Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan
tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun
847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang
guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati,
dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang
ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada
masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh
putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu
Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur berupa
reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan sekarang
ini. Ketika kita mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya
dari atas puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa yang
berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan yang megah dan
menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.
Pemugaran selanjutnya, setelah oleh
Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, dilakukan pada 1907-1911
oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari
reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp
sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan
satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi
Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya.
Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India.
Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi
di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan
mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom,
yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada
kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.
kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.
Candi Borobudur merupakan candi terbesar
kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida
Cheops di Gizeh Mesir. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun
dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25
cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan
berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur
dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita
yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jadi
kalau rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief
seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur
sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh
bangunan candi berjumlah 504 buah. Sedangkan, tinggi candi dari permukaan tanah
sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter
setelah tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa.
Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir
dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain
bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan
ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Dan itulah salah
satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di
Indonesia.
Melihat kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini dan candi-candi lainnya di Indonesia telah memberikan pengetahuan yang besar tentang peradaban bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp. Kita patut menghargai usaha-usahanya mengingat berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.
Melihat kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini dan candi-candi lainnya di Indonesia telah memberikan pengetahuan yang besar tentang peradaban bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp. Kita patut menghargai usaha-usahanya mengingat berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.
Sampai saat ini ada beberapa hal yang
masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam
hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat
tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih
berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu
sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari
dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang dipergunakan?
Mengingat pada masa itu belum ada gambar biru (blue print), lalu dengan sarana
apakah mereka itu kalau hendak merundingkan langkah-langkah pengerjaan yang
harus dilakukan, dalam hal gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah
bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk
digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah
atau dari bawah ke atas? Dan masih banyak lagi misteri yang belum terungkap
secara ilmu pengetahuan, terutama tentang ditemukannya ruang pada stupa induk
candi. Restorasi di tahun 1974-1983
SUMBER : http://hadrianprathamawibisono.blogspot.com/2009/10/asal-usul-candi-borobudur.html
0 komentar " ASAL USUL CANDI BOROBUDUR ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar