Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
yang terjemahannya :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (terj. At-Taubah :
100)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala
memberi pujian kepada para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Dan Allah pun ridha kepada mereka dan menjanjikan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka para shahabat adalah generasi
terbaik yang dipilih Allah sebagai pendamping nabi-Nya dalam mengemban risalah
Ilaahi.
Pujian Allah tersebut, adalah bukti keutamaan
dan kelebihan mereka. Mereka adalah generasi salaf yang disebut sebagai generasi
Rabbani, yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi
Wasallam.
Kita sebagai generasi belakangan bukanlah
termasuk kaum Muhajirin dan Anshar, namun kita bisa mendapatkan ridha Allah
dengan menjadi pengikut generasi terbaik tersebut. Sebagaimana firman Allah
dalam ayat tersebut, yang terjemahannya : “ …dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka …”.
Mereka yang menapak jejak generasi terbaik
(generasi salaf) itulah yang dikenal sebagai salafy. Jadi, salafy adalah
penamaan yang mulia di dalam Islam. Salafy bukanlah penamaan bathil sebagaimana
yang sering dituduhkan oleh mereka yang dengki dengan dakwah yang mulia ini.
Mereka menuduh bahwa salafy adalah penamaan yang memecah belah ummat, salafy itu
kuno, kaku dan sederet tuduhan keji lainnya. Padahal seandainya mereka mau
melihat dengan hati yang tulus dan akal pikiran yang jernih, Insya Allah mereka
akan mendapati bahwa penamaan ini justru mempersatukan ummat. Dengan penamaan
ini, ummat diseru untuk meneladani generasi salaf, generasi pendahulu Islam yang
merupakan generasi terbaik, hanya dengan kembali kepada jalan hidup mereka,
persatuan dan kejayaan ummat
akan dapat diraih kembali. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik
Rahimahullaah: “Tidak akan baik generasi akhir ummat ini kecuali dengan apa
yang membuat generasi awalnya menjadi baik.” Dan ketahuilah wahai saudaraku,
bahwa Islam yang paling murni adalah yang paling dekat dengan masa kenabian,
yang paling terdahulu. Adapun yang kita kenal di zaman sekarang ini, sudah
bercampur dengan berbagai bid’ah yang mana semua bid’ah itu adalah sesat.
Kemudian
ketahuilah bahwa kebanyakan mereka yang menuduh itu, menamakan diri
mereka sendiri dengan nama
kelompok mereka, nama yang diberikan oleh pemimpin kelompok mereka. Dengannya
mereka mengajak manusia untuk mengikuti pimpinan dan kelompok mereka, dan justru
penamaan inilah yang memecah belah ummat. Mereka menamakan diri mereka dengan
nama-nama yang tidak pernah dicontohkan oleh generasi salaf ummat
ini.
Maka yakinlah wahai saudaraku, diraihnya
kejayaan dan kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat, adalah dengan mengikuti
jalan generasi salafusshalih.
Dalam kesempatan ini, akan dikupas bagaimana
para pendahulu kita menyucikan
jiwa mereka, yang dinukil dari petikan kata-kata mutiara dan hikmah yang Insya
Allah akan berguna bagi kita.
Salaf dan Tazkiyatun
Nufus
Salah satu sisi ajaran Islam yang tidak boleh
terlupakan adalah tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Allah selalu menyebutkan
tazkiyatun nufus bersama dengan ilmu. Allah berfirman, yang terjemahannya :
“Sebagaimana Kami telah mengutus Rasul di antara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab
dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (terj.
Al Baqarah : 151)
Artinya, ilmu itu bisa menjadi bumerang bila
tidak disertai dengan tazkiyatun nufus. Oleh sebab itu dapat kita temui dalam
biografi ulama salaf tentang kezuhudan, keikhlasan, ketawadhu’an dan kebersihan
jiwa mereka. Begitulah, mereka selalu saling mengingatkan tentang urgensi
tazkiyatun nufus ini. Dari situ kita dapati ucapan-ucapan ulama salaf sangat
menghujam ke dalam hati dan penuh dengan hikmah. Hamdun bin Ahmad pernah ditanya
: “Mengapa ucapan-ucapan para salaf lebih bermanfaat daripada ucapan-ucapan
kita ?” beliau menjawab : “Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam,
keselamatan jiwa dan mencari ridha Ar-Rahman, sementara kita berbicara untuk
kemuliaan diri, mengejar dunia dan mencari ridha manusia
!”
Namun, perlu diingat bahwa tazkiyatun nufus
haruslah sesuai dengan tuntunan Rasulullaah
Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Bukan dengan cara-cara bid’ah sebagaimana yang
dilakukan oleh para sufi yang sesat dengan tarekat-tarekat mereka.
(lihat
rinciannya dalam kitab “Manhajul Anbiya fi Tazkiyatin Nufus”, Syaikh Salim al
Hilaly)
Salaf dan Kegigihan dalam Menuntut
Ilmu
Imam adz-Dzhabi berkata : “Ya’qub bin
Ishaq al-Harawi menceritakan dari Shalih bin Muhammad al-Hafizh, bahwa ia
mendengar Hisyam bin Ammar berkata : “Saya datang menemui Imam Malik, lalu saya
katakan kepadanya : “Sampaikanlah kepadaku beberapa hadits !” Beliau berkata : “Bacalah
!”
“Tidak, namun tuanlah yang membacakannya
kepadaku !” jawabku. “Bacalah !” kata Imam Malik lagi. Namun aku terus
menyanggah beliau. Akhirnya ia berkata : “Hai pelayan, kemarilah ! Bawalah orang
ini dan pukul dia lima belas kali !” Lalu pelayan itu membawaku dan memukulku
lima belas cambukan. Kemudian ia membawaku kembali kepada beliau. Pelayan itu
berkata : “Saya telah mencambuknya !” Maka aku berkata kepada beliau : “Mengapa
tuan mendzalimi diriku ? tuan telah mencambukku lima belas kali tanpa ada
kesalahan yang kuperbuat ? Aku tidak sudi memaafkan tuan
!”
“Apa tebusannya ?” tanya beliau. “Tebusannya
adalah tuan harus membacakan untukku sebanyak lima belas hadits !” jawabku. Maka
beliaupun membacakan lima belas hadits untukku. Lalu kukatakan kepada beliau :
“Tuan boleh memukul saya lagi, asalkan tuan menambah hadits untukku !” Imam
Malik hanya tertawa dan berkata : “Pergilah !”
Salaf dan
Keikhlasan
Generasi salaf adalah generasi yang sangat
menjaga aktifitas hati. Seorang lelaki pernah bertanya kepada Tamim Ad-Daari
tentang shalat malam beliau. Dengan marah ia berkata : “Demi Allah, satu
rakaat yang kukerjakan di tengah malam secara tersembunyi, lebih kusukai
daripada shalat semalam suntuk kemudian pagi harinya kuceritakan kepada
orang-orang !”
Ar Rabi’ bin Khaitsam berkata : “Seluruh
perbuatan yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah, maka perbuatan itu
akan rusak !”
Mereka tahu bahwa hanya dengan keikhlasan,
manusia akan mengikuti, mendengarkan dan mencintai mereka. Imam Mujahid pernah
berkata : “Apabila seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka
Allah akan menghadapkan hati manusia
kepadanya.”
Dari Amru bin Tsabit diriwayatkan bahwa ia
berkata : “Tatkala Ali bin Al Husein meninggal dunia dan orang-orang
memandikan jenazahnya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam di
punggungnya. Mereka lantas bertanya : “Apa ini ?” Sebagian mereka menjawab :
“Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada
orang-orang fakir di Madinah.”
Dari Ibnu Aisyah diriwayatkan bahwa ia
berkata : “Ayahku pernah berkata : “Aku pernah mendengar penduduk Madinah
mengatakan: “Kami terus menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga
meninggalnya Ali bin Al-Husein.”
Memang diakui, menjaga amalan hati sangat
berat karena diri seakan-akan tidak mendapat bagian apapun darinya. Sahal bin
‘Abdullah berkata :Tidak ada satu perkara yang lebih berat atas jiwa daripada
niat ikhlas, karena ia tidak mendapat bagian apapun
darinya.”
Sehingga Abu Sulaiman Ad-Darani berkata :
“Beruntunglah bagi orang yang mengayunkan kaki selangkah, dia tidak
mengharapkan kecuali mengharap ridha Allah !”
Kemudian ‘Aun bin Umarah berkata : “Aku
pernah mendengar Hisyam Ad-Dastuwa-I berkata : “Demi Allah, aku tak berani
menyatakan sama sekali bahwa suatu hari aku pernah pergi mencari hadits karena
Allah Azza wa Jalla semata.”
Mereka juga sangat menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasan, seperti gila popularitas, gila
kedudukan, suka dipuji dan diangkat-angkat.
Ayyub as-Sikhtiyaani berkata : “Seorang
hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika ia masih suka
popularitas.”
Yahya bin Muadz berkata : “Tidak akan
beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan.” Abu Utsman bin Sa’id
bin Al-Haddaad berkata : “Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari
Allah melebihi gila pujian dan gila sanjungan.”
Imam Asy-Syafi’ie berkata : “Kalau kamu
mengkhawatirkan sikap ujub (bangga terhadap diri
sendiri-pen) atas amal
perbuatanmu, ingatlah keridhaaan siapakah yang menjadi tujuan amalmu ? Di alam
kenikmatan manakah engkau hendak berlabuh dan dari siksa yang manakah engkau
hindarkan dirimu. Karena barangsiapa yang mengingat semua itu, maka semua
amalannya akan tampak kecil di matanya.”
Karena itulah ulama salaf sangat mewasiatkan
keikhlasan niat kepada murid-muridnya. Ar Rabi’ bin Shabih menuturkan :
“Suatu ketika, kami hadir dalam majelis Hasan al-Bashri, kala itu beliau
tengah memberi wejangan. Tiba-tiba salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu.
Al Hasan berkata kepadanya : “Demi Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan
apa tujuan anda menangis pada saat ini !”
Salaf dan Taubat
Mereka
Setiap bani Adam pasti bersalah, dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat kepada Allah.
Demikianlah makna perkataan Rasulullaah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam dalam
sebuah hadits shahih. Dan generasi salaf adalah yang terdepan dalam masalah ini
!
‘Aisyah Radhiyallaahu 'Anha berkata :
“Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak diisi dengan
istighfar.”
Al Hasan Al-Bashri pernah berpesan :
“Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan,
di pasar dan di dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada !
Karena kalian tidak tahu kapan turunnya
ampunan.”
Tangis Generasi
Salaf
Mereka memiliki hati yang amat lembut.
Sehingga hati mereka mudah tergugah dan menangis karena takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih tatkala membaca ayat-ayat suci Al
Qur’an.
Ketika membaca firman Allah, yang
terjemahannya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…” (terj. Al-Ahzab :33),
‘Aisyah Radhiyallaahu 'Anha menangis tersedu-sedu hingga basahlah
pakaiannya.
Demikian pula Ibnu Umar Radhiyallaahu
'Anhuma, ketika membaca ayat yang terjemahannya : “Belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan
kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” (terj. Al Hadid :
16)
Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan
tangisnya.
Ketika beliau membaca Surat Al Muthaffifiin,
setelah sampai pada ayat yang terjemahannya : “Pada suatu hari yang besar,
(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (terj. Al
Muthaffifiin : 5-6)
Beliau menangis dan bertambah keras tangis
beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.
Salaf dan
Tawadhu’
Pernah disebut-sebut tentang tawadhu’ di
depan al Hasan Al-Bashri, namun beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya
berbicara ia berkata kepada mereka : “Saya lihat kalian banyak bercerita
tentang tawadhu’ !” Mereka berkata : “Apa itu tawadhu’ wahai Abu Sa’id ?”
Beliau menjawab : “Yaitu setiap kali ia keluar rumah dan bertemu seorang
muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik daripada
dirinya.”
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah
masalah di hadapan Sufyan bin Uyainah, ia berkata : “Kami dilarang berbicara
di hadapan orang-orang yang lebih senior dari
kami.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh pernah ditanya :
“Apa itu tawadhu’ ?” Beliau menjawab : “Yaitu engkau tunduk kepada
kebenaran !”
Mutharrif bin ‘Abdillaah berkata : “Tidak
ada seorangpun yang memujiku kecuali diriku merasa semakin
kecil.”
Salaf dan Sifat
Santun
Pada suatu malam yang gelap, Umar bin ‘Abdul
Aziz (salah
seorang khalifah) memasuki masjid. Ia melewati seorang seorang
lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata : “Apakah
engkau gila !” Umar menjawab : “Tidak” Namun para pengawal berusaha
meringkus lelaki itu. Namun, Umar bin ‘Abdul Aziz mencegah mereka seraya berkata
: “Dia hanya bertanya : Apakah engkau gila ! dan saya jawab :
Tidak”
Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin
Munabbih : “Sesungguhnya Fulan telah mencaci engkau !” Ia menjawab :
“Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain engkau
!”
Salaf dan Sifat
Zuhud
Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan
Ats-Tsauri berkata : “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit
dari kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita banyak menemui orang-orang yang zuhud
dalam masalah makanan, minuman, harta dan pakaian. Namun ketika diberikan
kekuasaan kepadanya maka iapun mempertahankan dan berani bermusuhan demi
membelanya.”
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang
lelaki yang memiliki seribu dinar (jumlah yang besar pada saat
itu – pen)
apakah termasuk zuhud ? Beliau
menjawab : “Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu gembira bila bertambah dan
tidak terlalu bersedih jika berkurang.”
Dari
Sufyan bin Uyainah diriwayatkan bahwa ia berkata : “Said bin Al-Musayyib pernah
berkata: “Sesungguhnya dunia itu hina, dan dunia akan lebih condong kepada
setiap orang yang hina. Dan yang lebih hina lagi bagi orang yang mengambilnya
dengan cara yang haram, atau mencarinya bukan lewat jalan sesungguhnya, untuk
kemudian diletakkannya di luar jalur yang
dibenarkan.”
Penutup
Demikianlah beberapa petikan mutiara salaf
yang sepatutnya kita jadikan pelajaran dalam menapak kehidupan ini, agar selaras
dengan tujuan penciptaan kita, yaitu : Menyembah hanya kepada Allah sebagai
satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan mengingkari yang selain-Nya.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita
kekuatan dan ketabahan untuk menjadi seorang salafy (pengikut para salaf) yang
sebenar-benarnya.
0 komentar " IKUTILAH MANHAJ SALAF (GENERASI ISLAM TERDAHULU) ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar