لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ
“Tidaklah seseorang diantara kalian
dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia
mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana
mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu
manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada
saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil `Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba`in An-Nawawiyah).
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil `Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba`in An-Nawawiyah).
(“Tidaklah
seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan
yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan
seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu
bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i.
“..hingga dia mencintai bagi saudaranya
berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai
sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits
ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai
bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan
urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya
mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan
saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang
diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit
terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta`ala memaafkan kita dan
saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan
tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada
hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena
manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai
saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang
yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai
agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak
kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak
saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil
sekalipun dia merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits
ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka
sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk
dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits
yang lain:
ألْمُؤْمِنُ كَالْجَسَدِ الْوَاحِدُ إذَا اشْكَتَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ والْحُمَّى
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu
jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan
sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.”
(HR. Muslim)
“Saudara”
yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya
kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara”
dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut
dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut
temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti
fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang
kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya
kaum muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal
ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah,
bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku –semoga Allah senantiasa
menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat!
Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan
yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal
dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka
terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan
hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka
dalam Surat Al-Hasyr:
لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ(8) وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا
الدَّارَ
وَالْإِيمَانَ
مِن
قَبْلِهِمْ
يُحِبُّونَ
مَنْ
هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ
وَلَا
يَجِدُونَ
فِي
صُدُورِهِمْ
حَاجَةً
مِّمَّا
أُوتُوا
وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى
أَنفُسِهِمْ
وَلَوْ
كَانَ
بِهِمْ
خَصَاصَةٌ
وَمَن
يُوقَ
شُحَّ
نَفْسِهِ
فَأُوْلَئِكَ
هُمُ
الْمُفْلِحُونَ(9)
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum
Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan
dalam mewujudkan syahadat mereka an
laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah
mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin
(orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul `alamin.
Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah
dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang
yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang
lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang
yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap
kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam
kesulitan. Allah Ta`aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta`aala dari
kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian
itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang
benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia
dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang
memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi
rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita
tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala
hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah
seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan
seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil
tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat
kosong, lalu dia berdalih “Aku
memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf
belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita.
Allah Ta`ala berfirman:
فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan
agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini
untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk
belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama
sekali. Wal iyadzu billah.
Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu
Karena Allah
الدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُشآدَّ الدِّيْنُ أحَدٌ إلاَّ غَلَبَهُ .
Mari kita bersama mengurai, apa contoh
sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu
bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنُوْا
حَتَّى تَحَابُّوْا أوَلاَ أدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٌ إذًا فَعَلْتُمُوْهُ
تَحَابَبْتُمْ أفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ .
“Kalian tidak akan masuk surga sampai
kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai.
Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian
akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan
do`a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu `alaikum warahmatullahi
wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim
yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa
memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu
kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang
yang mendo`akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah
mengabulkan do`a tersebut. Saudariku fillah,
bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita
sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal
maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah
kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do`a yang demikian?! Namun, sangat
baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang
bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita
bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita
yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah,
ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar
kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya
Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan
Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa
banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol
dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip.
Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk
membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan
menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah
dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu,
membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?”
Teman yang lain menjawab, “Sunnah
yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat
shubuh di hari Jum`at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata,
“Ooo… begitu, saya kok baru
tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi
”majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan
pada saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama
Menghadiri Majelis `Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja
kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong,
kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh
di hari Jum`at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.”
Alhamdulillah
bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya
menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa
berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat `Umar radhiyallahu
`anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain.
Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa `Umar radhiyallahu `anhu
memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu `Umar radhiyallahu `anhu pun
berkata yang maknanya ‘Seorang
teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu
aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu
diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong
ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam
masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara
lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran
dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun
(Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah
nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada
saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya
hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan
kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa
kepada Allah Ta`ala.
Saudariku fillah,
berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu,
memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian.
Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana
dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan
orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang
mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu?
Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan
orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak
mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di
sisi Allah Ta`ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang
mengajak kita untuk “ingin
menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati!
Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah
Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal
tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji
manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta`Ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah –semoga Allah
senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling
mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa
Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
أنَّ اللهَ يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةَ أيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ الْيَوْمَ أظَلَّهُمْ فِيْ ظِلِّيْ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إلاَّ ظِلِّيْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu,
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari
Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada
hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada
naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِيْ
عَنْ رَبِّهِ يَقُوْلُ الْمُتَحَابُّوْنَ فِيْ اللهِ عَلَى مُنَابِرِ مِنْ نُوْرٍ
فِيْ ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلِّ إلاَّ ظِلِّهِ قَالَ فَخَرَجْتَ حَتَّى
لَقَيْتَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ فَذَكَرْتَ لَهُ حَدِيْثِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ
رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ حَقَّتْ مَحَبَّتِيْ لِلْمُتَحَابِّيْنَ فِي
وَحَقَّتْ مَحَبَّتَِيْ لِلْمُتَبَاذِلِيْنَ فِي وَحَقَّتْ مَحَبَّتِيْ
لِلْمُتَزَاوِرِيْنَ فِي وَالْمُتَحَابُّوْنَ فِي اللهِ عَلَى مُنَابِرِ مِنْ
نُوْرٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلِّ إلاَّ ظِلِّهِ
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu `anhu dari Mu`adz bin
Jabal radhiyallahu `anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang
yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam
naungan `Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu
`anhu melanjutkan, “Kemudian
aku keluar hingga bertemu `Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan
kepadanya hadits Mu`adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, `Aku mendengar
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang
berfirman, `Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku,
cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan
cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.`
Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya
dalam naungan `Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.”
(HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ألْمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِي لَهُمْ مُنَابِرُ مِنْ
نُوْرٍ يُغْبِطُهُمُ النَّبِيُّوْنَ وَالشُّهَدَاءُ
Dari Mu`adz bin Jabal radhiyallahu `anhu, ia menuturkan, Aku
mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman,
`Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar
dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi;
Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini`matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji
bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do`a ini
diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah
Ta`aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta`aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata,
begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan
ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan
Allah Rabbul `alamin
sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan
selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat.
Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di
Surga Firdaus Al-A`laa
bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan
yang paling indah…
Maroji’:
- Terjemah Syarah Hadits Arba`in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil `Ied
- Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-`Adawi
- Sunan Tirmidzi
0 komentar " SEINDAH-INDAHNYA CINTA ITU CINTA KARENA ALLAH ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar