Ilmu
pengetahuan membagi alam fisikal atas tiga peringkat. Pertama, peringkat
inorganik atau kosmologikal, yaitu peringkat benda mati, seperti batu, besi,
dan lain-lain. Kedua, peringkat organik atau biologikal, yakni tingkat hayat,
yang terdiri dari nabati dan hewani. Ketiga, peringkat manuia atau makhluk
ruhaniyah sosial. Makhluk pertama
(inorganik) sama sekali dibatasi oleh ruang dan waktu, dia tidak bisa pindah
dari satu ruang ke ruang lain, dan tidak mengetahui makna waktu. Pada peringkat
nabati, ia dibatasi oleh waktu dan sedikit bisa menembus ruang, sementara pada
peringkat hewani, ia hanya dibatasi oleh waktu, tetapi telah bisa menembus
ruang. Pada makhluk manusia, ia dapat menembus ruang dan waktu, bahkan dia dapat
memahami makna waktu. Dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan
dalam hidupnya.
Manusia
berbeda dengan makhluk lain yang lahir dan tercipta dengan tabiatnya
sendiri-sendiri. Manusia, meski lahir dalam fitrah insani yang memberikannya
potensi untuk menjadi manusia seutuhnya, namun fitrah demikian tidak senantiasa
membuatnya menjadi “manusia”. Karena ia diciptakan dengan kadar kebebasan dan
kemerdekaan yang demikian tinggi, maka manusia bahkan bisa menentukan tabiat
dan wataknya sendiri di luar dari potensi fitrahnya.
Kebebasan
adalah milik manusia yang sangat berharga. Karena itu, tidak ada orang yang mau
dipisahkan dari kebebasan dalam hidupnya. Menghilangkan kebebasan sama dengan menghilangkan satu bagian dari
kehidupan manusia. Ali bin Abi Thalib r.a. pernah menulis surat sebagai wasiat
bagi anaknya, Hasan: “Hai anakku, segala sesuatu yang kau berikan atau kau jual
dapat ditentukan harganya. Tetapi, dirimu adalah satu-satunya milikmu yang
tidak dapat ditentukan harga dan nilainya, walau dunia dan isinya sekalipun.
Anakku, jangan pernah kamu mau menjadi budak (selainmu), karena Allah telah
menciptakanmu dalam keadaan bebas”.
Kebebasan yag dikaruniakan oleh Allah ini bukanlah
sebagai tujuan hidup manusia, sebagaimana pula sejumlah nilai lain bukanlah
sasaran akhir dalam hidup. Kebebasan adalah sarana untuk mencapai kesempurnaan
kemanusiaan yang tertinggi. Sebab, tanpa kebebasan, manusia tidak mungkin
memiliki dirinya sendiri. Dan kalau dia bukan pemilik dirinya berarti kehidupan
ini absurd adanya, laksana boneka yang tidak memiliki apa-apa atas dirinya.
Manusia diciptakan Tuhan bukanlah sebagai mainan, tetapi sebagai makhluk yang
berkepribadian dan dapat menentukan jalan hidupnya sendiri dengan kebebasan
yang dimilikinya. Karena itu, kebebasan diiringi dengan tanggung jawab.
Sehingga, kebebasan sekecil apapun tidak lepas dari tanggung jawab.
Dua Arah Kebebasan
Dalam
al-Qur’an disebutkan:
إنا خلقنا الإنسان من نطفة أمشاج
نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا. إنا هديناه السبيل إما شاكرا وإما كفورا (الدهر: 2-3)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani
yang bercampur, Kami akan mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan
melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus); ada yang
bersyukur dan ada yang ingkar (kafir). (QS.
Ad-Dahr: 2-3)
Dipahami dari ayat di atas bahwa kebebasan yang dimiliki
manusia bisa digunakannya kepada salah satu dari dua arah; positif dan negatif.
Kebebasan adalah milik masing-masing
individu manusia. Setiap orang adalah bebas dalam hidupnya, dan dia dapat
menggunakan kebebasan itu semaunya, karena itu adalah milkiknya dan hak
asasinya. Akan tetapi, kebebasan tanpa batas tidak akan berujung pada sesuatu
yang positif, sebab akan selalu berbenturan dengan kebebasan individu lain,
yang jika tidak dikendalikan akan menyebabkan kehancuran. Sehingga amat tepat
apa yang menjadi aksiomatik dalam Islam bahwa:
حرية المرء محدود بحرية غيره
“Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain”.
Jadi, kebebasan bukanlah suatu nilai tunggal dalam kehidupan
manusia. Kebebasan tidak akan bermakna apa-apa kalau tidak didukung oleh
serangkaian nilai-nilai luhur yang lain, seperti keadilan, kebijaksanaan,
solidaritas, toleransi, kasih sayang, dan sebagainya. Oleh karena itu,
menguburkan nilai-nilai yang lain semata-mata demi kebebasan adalah suatu
kekeliruan. Ketika kebebasan tidak didukung oleh nilai luhur yang lain, yang
muncul adalah anarkisme dan kebrutalan. Bisa dibayangkan, betapa nasib
kebebasan apabila terlepas dari nilai keadilan dan kasih sayang. Apalagi untuk
sebuah bangsa yang pluralis seperti kebanyakan negara-negara di dunia, bila
tidak ada toleransi yang memadai, maka tatanan kehidupan akan hancur berantakan
dengan alasan: kebebasan. Karena itu, toleransi adalah salah satu nilai yang
diajarkan Islam demi terselematkannya manusia dari kehancuran. Allah berfirman:
ولو لا دفع الله الناس بعضهم ببعض لفسدت الأرض
ولكن الله ذو فضل على العالمين
“Seandainya Allahl tidak menahan suatu golongan atas golongan
yang lain, niscaya binasalah bumi. Akan tetapi Alah memiliki karunia atas alam
semesta”. (QS. Al-Baqarah: 51).
Kebebasan dan Kesempurnaan Manusia
Gerak
perkembangan makhluk berkisar pada salah satu dari tiga bentuk. Pertama, gerak
perkembangan “diri menuju selain diri”. Dalam hal ini, gerak dimulai, maka
perubahan akan terjadi dan diri berubah menjadi “sesuatu yang lain”. Kedua,
gerak terjadi “dari bukan diri menjadi diri”. Ketika dulu ia merupakan sesuatu
yang lain, tetapi dengan adanya gerak, maka ia semakin menemukan dirinya.
Ketiga, gerak perkembangan, “dari diri menjadi diri” dan akan semakin mandiri.
Artinya, “diri” itu adalah suatu realitas yang terus menerus berkembang bersama
perubahan waktu. “Diri”-nya bukan hanya ada pada mula pertama, atau pada
pertengahan, tetapi juga pada masa akhir. Dalam pada ini, “diri” bergerak dari
yang “naqish” (kurang) menjadi “kamil” (sempurna).
Semua
mawjud secara alami mendambakan kesempurnaan akhir yang menjadi puncak
kesempurnaan dirinya, baik mawjud itu berupa manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi terdapat
perbedaan yang sangat mendasar dalam penyempurnaan diri itu. Pada makhluk
selain manusia, yang terjadi adalah gerak perkembangan dari “diri menjadi
selain diri” atau “selain diri menjadi diri”. Pada manusia, gerak itu adalah
“dari diri menjadi diri”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa manusia memerlukan gerak
dan kebebasan bergerak demi mencapai tahap tertinggi dari perkembangan dirinya.
Oleh sebab itu, keterikatan pada sesuatu hal yang asing akan bisa menghalangi
perkembangan manusia menuju penyempurnaan dirinya dan bahkan dapat menhapuskan
sifat kemanusiaan sama sekali dari dirinya. Dari itu, agama menganjurkan untuk tidak terikat oleh hal-hal material,
tidak terikat oleh pemberian orang lain, tidak terikat oleh hawa nafsu, karena
hal itu dapat mematikan gerak perkembangan diri menuju kesempurnaannya.
Sebaliknya, kebebasan tanpa batas juga tidak akan membuat
manusia semakin menemukan jatidirinya,
tetapi malah akan membuatnya terasing dari dirinya sendiri. Kebebasan iblis
adalah kebebasan yang kelewat batas, sehingga Tuhan pun ia lawan. Akibatnya, ia
menjadi makhluk terkutuk. Manusia yang menginginkan kebebasan mutlak tanpa
batas adalah bagian dari iblis yang muncul di dunia kita ini. Na’udzu billah
min dzalik.
0 komentar " MEMAHAMI KEMBALI HAKIKAT KEBEBASAN ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar