Bergembiralah
mereka seorang guru yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi
sertifikasi portofolio, guna mendapatkan tambahan tunjangan profesi setara satu
kali gaji pokok (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian
diharapkan guru yang sudah dianggap profesional tersebut bisa lebih meningkatkan
kinerjanya.
Berawal
dari surat
panggilan ikut seleksi sertifikasi, guru tersebut mulai menyusun materi
fortofolio. Dengan batas minimal nilai fortofoilio, guru mulai mencoba mencari
celah untuk melakukan berbagai cara supaya batas nilai minimal bisa terpenuhi.
Cara-cara yang yang kurang terpuji terbesit dibenak para guru yang nilainya
kurang memenuhi batas minimal. Ada yang membuat surat tugas Aspal (asli
tapi palsu) dan ada yang memalsu sertifikat punya orang lain. Bahkan ada yang
mengganti nama pada karya tulis atau buku modul yang bukan karyanya. Sementara
kepala sekolah tak bisa menolak untuk mengesahkan surat-surat tersebut. Guru
tak pernah ikut berbagai kegiatan di sekolah, tetapi dalam surat
tugas Aspal tersebut selalu tercantum, dengan cara membuat surat tugas baru, seakan-akan guru tersebut
aktif pada berbagai kegiatan di sekolah. Bagi yang belum sarjana S-1 atau D4,
mereka mulai ikut kuliah lagi walau di perguruan tinggi yang belum
terakreditasi baik. Sehingga muncul sarjana-sarjana pendidikan karbitan yang
hanya sebatas sarjana hitam diatas putih. Karena sarjana-sarjana semacam ini
tidak jauh berbeda ketika mereka belum sarjana.
Ramai-ramai
mengikuti seminar dimana-mana, yang tentunya hanya ingin mendapatkan sertifikat
semata. Ada yang hanya mendaftar tetapi tidak ikut seminar, bahkan ada sejumlah
oknum yang mencoba menjual sertifikat dengan harga yang bervariasi antara Rp
50.000 sampai Rp 100.000 tergantung jumlah jam seminar dan tingkatan seminar
tersebut (tingkat Lokal atau Nasional).
Bagi yang
lulus portofolio tentunya sangat lega dan dianggap sudah profesional, sementara
yang belum harus mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di
wilayah kerja masing-masing. Dalam pelaksanaan PLPG inilah muncul berbagai
persoalan. Guru yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak mungkin lagi bisa
mengikuti pelatihan sepanjang hari dengan baik . Ada guru kena penyakit darah tinggi, rematik,
diabetis, asam urat dan lain sebagainya, fenomena seperti ini tentunya program
pemerintah tidak begitu berarti. Dimana guru-guru banyak di luar sekolah
sehingga jam mengajar sering ditinggalkan.
Setelah
menjalani PLPG yang menguras tenaga dan pikiran, selanjutnya mengikuti ujian
praktek dan tertulis. Ujian inilah yang benar-benar terlihat mereka guru profesional
atau bukan. Karena di beberapa wilayah tempat PLPG rata-rata 50% lebih peserta
PLPG tidak lulus ujian. Ironis sekali seorang guru yang selalu manganjurkan
siswanya untuk belajar giat agar lulus ujian, ternyata gurunya sendiri tidak lulus ujian.
PLPG di
wilayah Surakarta
banyak yang tidak lulus dan akhirnya perserta melakukan demonstrasi menuntut
pihak pengelola PLPG agar diadakan ujian ulang dan minta diluluskan. Padahal
yang melakukan demonstrasi tersebut sudah melakukan ujian ulang sampai 3 kali.
Bahkan sampai menghadap ketua PGRI Provinsi dan Badan Perwakilan Daerah (BPD) Jawa-Tengah
di Semarang (Suara Merdeka).
Setalah
dinyatakan lulus fortofolio atau PLPG, timbul masalah lagi di sekolah tempatnya
mengajar yaitu guru tersebut harus mempunyai beban kerja sekurang-kurangnya 24
jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu (UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Masalah ini timbul karena sebelumnya
seorang guru hanya mempunyai beban kerja 12 – 18 jam tatap muka, terutama pada
tingkat SLTP dan SLTA yang jumlah rombongan belajarnya sedikit tetapi gurunya
banyak. Sehingga guru di beberapa sekolah melakukan manipulasi data pada SK
Kepala Sekolah, yaitu SK Pembagian tugas mengajar dan jadual mata pelajaran.
Menipulasi ini sekedar untuk dilaporkan ke tingkat institusi yang lebih atas.
Setelah dilakukan manipulasi data tersebut, seorang guru tersebut tetap hanya
melaksanakan beban kerja 12 – 18 jam tatap muka per-minggu, bahkan guru-guru
tersebut tidak menunjukan kinerja yang
lebih baik.
Disinilah
letak dimana guru melakukan tindakan yang kurang terpuji yaitu melakukan
kebohongan-kebohongan. Tidak tanggung-tanggung jam mengajar guru lain diambil
tanpa dilakukan musyawarah, sehingga terjadilah konflik internal di sekolah. Inilah
potret guru Indonesia
yang sudah dianggap profesional.
Selanjutnya
kapan pemerintah (Dedpdiknas) akan melakukan investigasi ke sekolah-sekolah
untuk memantau kinerja guru-guru yang sudah dianggap profesional tersebut ?.
DIKUTIP DARI : www.estib3.blogspot.com
0 komentar " GURU PROFESIONAL MEMANIPULASI DATA BEBAN KERJA TATAP MUKA ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar