Manusia
terdiri dari dua dimensi, yaitu jasmani dan ruhani, raga dan jiwa, atau badan
dan ruh. Kedua unsur tersebut memiliki
peranan yang sangat penting bagi keberadaan dan kehidupan manusia. Namun demikian, dalam tasawuf ruh mempunyai
kelebihan tersendiri dibanding dengan badan, karena ruh diyakini memiliki unsur
ketuhanan. Menurut para sufi, materi ruh
manusia berasal dari ruh Tuhan sendiri, sesuai dengan firman Allah yang terdapat
pada QS. al-¦ijr [15]: 29, sebagai berikut:
فإذا سويته ونفهت فيه من روحى .....
“Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh-Ku…” (QS. al-¦ijr [15]: 29).
Pada
awal dari eksistensinya, ruh berada di alam azali, yaitu suatu alam yang
merupakan awal keberadaan. Pada saat ini
ruh berada bersama dengan Tuhan Sang Pencipta dengan segala sifat-sifat
kebaikan-Nya. Sebagai Yang Maha
Pencipta, Ia juga bersifat Maha Suci, yang artinya tiada sesuatu yang merupakan
noda ada pada-Nya. Sementara itu, karena
bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci, maka mestilah ruh juga berada dalam
kesucian. Artinya bahwa ketika itu ruh
hanya mengenal Tuhan dan sifat-sifat yang dimiliki. Tidak ada sesuatu yang diketahui selain
Tuhan. Sehingga seluruh perhatian ruh
hanya tertuju kepada Tuhan dan tidak kepada yang lainnya. Inilah kebahagiaan, kedamaian, dan kenikmatan
yang dirasakannya ketika berada bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci. Pada fase ini semua ruh mengakui dan telah
bersaksi bahwa hanya Allah semata yang menjadi Tuhan mereka. Tak satupun dari ruh-ruh itu yang mengatakan
adanya Tuhan yang lain atau yang mengakui dirinya tak bertuhan. Semua sepakat bahwa Allah adalah Tuhan mereka
Yang Esa. Ikrar para ruh itu telah
diabadikan dalam al-Qur’an pada surah al-A`r±f [7]: 172, sebagai
berikut:
...وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا ....
“…
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul
(Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS. al-A`r±f [7]:
172).
Pada
saat tahap selanjutnya dari keberadaan yang dilalui tiba, ruh harus
meninggalkan alam azali untuk ditiupkan ke dalam janin yang berada dalam rahim
atau kandungan seorang wanita. Kemudian,
setelah sampai waktunya, lahirlah ia ke alam dunia yang merupakan fase ketiga
dari kehidupannya. Inilah fase
terpenting dari keberadaannya. Sebab
pada tahap inilah, ruh akan ditentukan bagaimana kehidupan yang akan dialami
pada fase-fase yang akan datang. Di alam
dunia ini, ruh yang telah masuk ke dalam badan manusia mendapatkan kesempatan
untuk mengekspresikan diri dengan memotifasi jasmani dalam melakukan
tindakan-tindakan yang terpuji agar ia mendapat pahala dari kebaikannya, atau
sebaliknya justru berbuat yang tidak baik dan melanggar aturan Ilahi, sehingga
kelak akan mendapat balasan yang setimpal, baik pada waktu berada di dunia
maupun di alam selanjutnya.
Sejak keberadaannya di alam
dunia, ruh mulai mengenal materi-materi di sekitarnya selain Tuhan. Pada pengenalannya itu, ia mengetahui bahwa
sebagian dari benda-benda tersebut dapat memberikan kenikmatan atau kesenangan
pada jasmaninya. Pada tahap ini semua
ruh kemungkinan besar akan terpesona dan terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat
keduniawian tersebut, sehingga ia terperosok untuk hanya memikirkan dan
menikmati kesenangan duniawi. Hal ini
pada giliran selanjutnya akan menyebabkan ruh melalaikan Tuhannya dan
perhatiannya hanya terpusat pada materi yang membawa kesenangan jasmani. Kondisi seperti ini, dalam ajaran tasawuf
disebut ruh yang telah terkotori oleh kenikmatan duniawi. Keadaan tersebut akan mengakibatkan ia berada
jauh dari Tuhan Yang Maha Suci. Ia tidak
lagi dapat mendekatkan diri disebabkan kotoran duniawi yang menjadi
perhatiannya.
Ketika seseorang akan memeluk
Islam, secara sadar ia diwajibkan mengucapkan ikrar syahadat. Pada dasarnya syahadat yang pertama (Syahadat
Tauhid) yang berisi kesaksian kepada Tuhan Yang Esa adalah untuk mengingatkan
kembali pada janji yang telah dibuat pada masa azali. Syahadat itu seolah-olah merupakan suatu
teguran yang bila diungkap akan menjadi pertanyaan mengapa yang telah berjanji
untuk bertuhan hanya kepada Allah, kini ia dapat mengakui pula selain Dia
sebagai tujuan ibadah, tempat minta tolong, tempat mencari berkah, dan lain sebagainya. Selain itu, ikrar tersebut juga untuk
mengingatkan ruh manusia bahwa ia pada masa itu adalah dalam keadaan suci,
yaitu hanya kepada Tuhan semata pusat perhatiannya tertuju, dan bukannya kepada
kesenangan serta kenikmatan duniawi seperti saat berada di dunia, yang telah
membawanya lupa akan asal dan tempat kembali kelak. Dengan Syahadat Tauhid, ruh telah
diajak untuk kembali kepada keadaan semula, yaitu dalam kesucian. Ikrar tersebut dimaksudkan untuk memotivasi
ruh agai ia dapat memusatkan kembali perhatiannya kepada Tuhan, dan tidak hanya
tertuju kepada benda-benda duniawi yang tidak langgeng.
Syahadat Tauhid juga
merupakan peringatan bahwa tujuan jangka panjang dari kehidupan manusia adalah
bersatu bersama dengan Tuhan. Dalam
teori sufisme kebersamaan dengan Allah itu dapat mengambil bentuk Ittihad
dan Hulul. Yaitu bersatunya ruh
bersama dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan suatu kenikmatan dan kebahagiaan
yang luar biasa bagi ruh. Dalam suasana
demikian, ruh sebenarnya kembali kepada keadaan semula seperti ketika berada
pada alam azali dahulu.
Ruh akan dapat berada dalam
suasana Ittihad atau Hulul, bila ia dapat mensucikan dirinya dari
segala kotoran duniawi terlebih dahulu.
Ia harus memisahkan dirinya dari segala sesuatu yang berhubungan dengan
masalah yang bersifat materi. Yang ada
dalam perhatiannya hanya Tuhan, dan Ia semata yang menjadi pusat tujuan,
sehingga yang lain terasa seolah menjadi tidak ada. Inilah tingkat atau suasana pembersihan jiwa,
atau yang dikenal dengan tazkiyatun nafs.
Tuhan itu Maha Suci. Tidak
mungkin sesuatu dapat berada bersama dengan-Nya, kecuali bila ia dalam keadaan
suci pula. Karena untuk bersama dengan
Allah, ruh mesti mensucikan diri terlebih dahulu dari hal-hal yang tidak baik
dan kotoran duniawi. Bila upaya ini
berhasil, maka ruh manusia akan menjadi bersih, suci, dan berada dalam
ketenangan dan kedamaian. Ketika itu
layaklah ruh untuk kembali kepada Tuhan, sebagaimana ajakan yang diungkapkan
dalam QS. al-Fajr
[89]: 27-28, sebagai berikut:
ياأيتها النفس المطمئنة. ارجعى إلى ربك راضية مرضية.
“Wahai jiwa (ruh) yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
tulus dan diridhai”. (QS. al-Fajr [89]: 27-28).
0 komentar " DIMENSI TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar