Sosok sufi
perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua
Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai
seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh
menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern
sekarang ini.
Corak tasawuf
Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan
suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih
didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya
dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf)
kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak
membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku
beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api
jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta
kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar
dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi
seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain
Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di
kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan
dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1.
Makna Cinta di
Kalangan Sufi
Dalam tasawuf,
konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada
Tuhan.
Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang
kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya
dalam makalah ini.
Secara
terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan
itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci
adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila
kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan
dendam.
Menurut Abu
Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang
sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin
Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan
dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.
Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati
seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2.
Cinta Sejati
adalah Cinta kepada Allah
Bagi
al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan
kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu
karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai
orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri.
Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta
terhadap Allah.
Jika sudah
dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah
diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima
faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi),
dan bukanlah hakiki.Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa
pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati,
yaitu cinta terhadap Allah.
3.
Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana
diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal
(keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam
kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba
di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa
ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada
Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu
keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah
suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut
al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam)
puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan
setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat
lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah
selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah,
seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.
Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta
merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan
al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi
al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang
mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan
memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan
disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun
disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4.
Tingkatan Cinta
Dilihat dari
segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi
tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta
ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta
orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul
karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir”
dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya
kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta
orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah
terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di
dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk
Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari
cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri
cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang
mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
Semenjak
Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau
dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik
di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan
seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada
perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang
mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih
mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf
al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat
al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang
puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung
cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer
masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah
yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.
0 komentar " . RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar