A.
Latar
Belakang Masalah
Kebijakan
otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan melalui Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah,
khususnya Kabupaten/Kota. Hal ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat
dan martabat masyarakat, memberikan peluang pendidikan yang seluas-luasnya
sesuai dengan potensi daerah setempat dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM), peningkatan efesiensi pelayanan publik di daerah, dan pada
akhirnya diharapkan pula pencitraan cara pemerintahan yang (good governance)
Subtansi
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang dikenal dengan undang-undang yang
mengatur tentang otonomi daerah memberi wewenang penuh kepada daerah untuk
mengelola semua urusan rumah tangganya sendiri kecuali lima hal yang menyangkut
: politik luar negeri, Agama, kehakiman, moneter dan fiskal. Undang-undang
tersebut menempatkan pemerintah daerah menjadi sangat penting perananya dalam
mengelola kepentingan rakyat. Pemerintah harus lebih responsif, aspiratif
terhadap berbagai kebutuhan masyarakat.[1]
Dalam proses
legislasi dan regulasi daerah, terjadi perubahan yang sangat menonjol. Semua
peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota
tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia. Seandainya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menyetujui sebuah rancangan perda, tidak lagi menunggu pengesahan dari pusat.
Hal ini sangat jelas berbeda sekali dengan mekanisme yang diberlakukan
sebelumnya melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1974.[2]
Seiring
bergulirnya desentralisasi pendidikan yang merupakan dampak dari desentralisasi
pemerintahan sebagai wujud dari Undang-undang nomor 22 tahun 1999. Desentralisasi
pendidikan bukanlah sekedar dekonsentrasi dibidang pendidikan yang kekuasaannya
diserahkan pusat kepada daerah otonom, akan tetapi desentralisasi pendidikan
berkenang dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu pendidikan adalah milik
rakyat dan untuk rakyat, proses pengembangan social capital dan intellectual
capacity dari suatu bangsa.[3]
Undang-undang
nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah menyebutkan bahwa sektor
pendidikan bukan merupakan sektor yang dikelola oleh pusat.[4]
Maka modifikasi publik dan bidang pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, selain
dapat diambil sebagai diskresi, berada pada koridor, dan bahkan merupakan
amanat undang-undang. Kebijakan pendidikan berada pada ruang otonomi yang
disediakan oleh perundang-undangan, dalam rangka mengantisipasi kondisi-kondisi
khas yang terdapat pada setiap daerah otonomi di Indonesia.
[1] Edi Sunandi Hamid, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan,
Evaluasi dan Sasaran (Yogyakarta : UII Press, 2004), Hlm. 133-134.
[2] Syaukani HR dkk, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 186.
[3] Isjoni, Saatnya Pendidikan kita Bangkit, cet ke-1, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007) hlm. 8.
[4] UU No 32 Tahun 2004 menyebutkan
urusan yang tidak disentralisasikan adalah politik luar negeri, pertahanan, yustisi,
moneter dan fiscal nasional, dan agama
0 komentar " TESIS : KEBIJAKAN PEMDA SINJAI TENTANG PENDIDIKAN GRATIS BAGI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) (AnalisisPerdaNomor6 Tahun 2010) ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar