BAB I
PENDAHULUAN
Universalitas Al-Qur‘an sebagai wahyu (baik dari sisi redaksi maupun
maknanya), menuntut umatnya untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan
dengan konsep wahyu dalam Islam, terlebih saat berinteraksi dengan kandungan
ayat-ayatnya. Konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode
penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Sebab Al-Qur‘an
adalah Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir,
tertulis dalam mushaf dan membacanya adalah ibadah. Dengan demikian,
Al-Qur‘an adalah rujukan utama kaum Muslimin dalam ber-Islam, bermuamalah
dan sekaligus sebagai pegangan hidup.
Dewasa ini, banyak usaha "membumikan Al-Qur‟an" melalui pendekatan
tafsir jalan lain yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam.
Al-Qur‘an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan
secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman
dan penafsir. Bahkan tidak jarang ide-ide kontroversial dalam penafsiran ayat-
ayat Al-Qur‘an dilakukan hanya untuk memberi justifikasi keabsahan nilai-nilai
dari Barat. Di antara ide ini adalah memahami Al-Qur‘an dari sudut pandang
gender (feminisme) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd (liberal
Mesir), Dr. Muhammad Syahrur (liberal Syiria), Prof. Dr. Nasaruddin Umar,
yang saat ini menjabat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.
Bagi kalangan liberal, usaha reaktualisasi tafsir ayat-ayat Al-Qur‘an
dengan pendekatan kesetaraan gender, biasanya tidak menolak ayat-ayat
Al-Qur‘an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran
ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical
criticism) adalah kritik sastra ala Barat yang mengacu pada bukti sejarah atau
berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang
kehidupan penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial pada saat itu.
Dalam makalah ini, akan dibahas secara garis besar tentang Kajian
Metode Tafsir berbasis Kesetaraan Gender. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat
korektif dan konstruktif dari para pembaca yang budiman sangatlah kami
harapkan dalam rangka perbaikan makalah ini.
DOWNLOAD
PENDAHULUAN
Universalitas Al-Qur‘an sebagai wahyu (baik dari sisi redaksi maupun
maknanya), menuntut umatnya untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan
dengan konsep wahyu dalam Islam, terlebih saat berinteraksi dengan kandungan
ayat-ayatnya. Konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode
penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Sebab Al-Qur‘an
adalah Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir,
tertulis dalam mushaf dan membacanya adalah ibadah. Dengan demikian,
Al-Qur‘an adalah rujukan utama kaum Muslimin dalam ber-Islam, bermuamalah
dan sekaligus sebagai pegangan hidup.
Dewasa ini, banyak usaha "membumikan Al-Qur‟an" melalui pendekatan
tafsir jalan lain yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam.
Al-Qur‘an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan
secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman
dan penafsir. Bahkan tidak jarang ide-ide kontroversial dalam penafsiran ayat-
ayat Al-Qur‘an dilakukan hanya untuk memberi justifikasi keabsahan nilai-nilai
dari Barat. Di antara ide ini adalah memahami Al-Qur‘an dari sudut pandang
gender (feminisme) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd (liberal
Mesir), Dr. Muhammad Syahrur (liberal Syiria), Prof. Dr. Nasaruddin Umar,
yang saat ini menjabat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.
Bagi kalangan liberal, usaha reaktualisasi tafsir ayat-ayat Al-Qur‘an
dengan pendekatan kesetaraan gender, biasanya tidak menolak ayat-ayat
Al-Qur‘an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran
ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical
criticism) adalah kritik sastra ala Barat yang mengacu pada bukti sejarah atau
berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang
kehidupan penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial pada saat itu.
Dalam makalah ini, akan dibahas secara garis besar tentang Kajian
Metode Tafsir berbasis Kesetaraan Gender. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat
korektif dan konstruktif dari para pembaca yang budiman sangatlah kami
harapkan dalam rangka perbaikan makalah ini.
DOWNLOAD
0 komentar " Kajian Metode Tafsir berbasis Kesetaraan Gender (TINJAUAN ANALISIS-KRITIS) ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar